SOLO, PANDE.co.id – Asal-usul Keraton Surakarta tidak terlepas dari pengungsian Sri Susuhunan Pakubuwana II yang membangun istana di Desa Sala, Ponorogo, lantaran mengungsi.
Pakubuwana II adalah Sultan Mataram kesembilan yang memerintah pada tahun 1726–1742.
Pakubuwana II mengungsi karena istananya di Kertasura diserbu tentara Tionghoa dengan dukungan orang Jawa yang menantang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1742. Akibatnya, Kartasura mengalami keruntuhannya.
Meskipun Kota Kartasura berhasil direbut kembali dengan bantuan Adipati Cakraningrat IV, yang merupakan sekutu VOC, keadaan kota tersebut telah rusak parah.
Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur dianggap "tercemar".
Sri Susuhunan Pakubuwana II memerintahkan Tumenggung Hanggawangsa, Tumenggung Mangkuyudha, dan komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi baru.
Mereka menemukan lokasi yang tepat sekitar 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, dekat dengan Bengawan Solo.
Sri Susuhunan Pakubuwana II membeli tanah seharga selaksa keping emas dari Ki Gedhe Sala, seorang akuwu (lurah) Desa Sala.
Saat pembangunan keraton berlangsung, Ki Gedhe Sala meninggal dan dimakamkan di salah satu tempat di area Baluwarti, di dalam tembok kompleks keraton.
Setelah pembangunan keraton selesai dan ditempati, nama Desa Sala diubah menjadi Surakarta Hadiningrat.
Nama "Sura" dalam Bahasa Jawa berarti "keberanian", sementara "karta" berarti "makmur."
Nama ini mencerminkan harapan bahwa Surakarta menjadi tempat di mana penduduknya selalu berani berjuang untuk kebaikan dan kemakmuran negara dan bangsa.
Pendapat lain, nama Surakarta juga dianggap sebagai kebalikan dari Kartasura.