Tujuan dari kegiatan ini bukan sekadar berkarya, tetapi juga menumbuhkan kesadaran bahwa lingkungan sekitar bisa menjadi sumber inspirasi dan ekspresi.
"Kegiatan ini memberi pesan bahwa sesuatu yang dianggap sederhana — bahkan sampah organik — bisa menjadi indah dan bermakna jika kita melihatnya dengan cara yang berbeda," ujar Stefanus sambil tersenyum.
Menyeberang ke Pulau Cipir
Sekitar pukul 12.30, rombongan beranjak menuju Pulau Cipir, yang awalnya bersifat opsional.
Namun karena semua peserta antusias, akhirnya perjalanan dilanjutkan.
Di Cipir, suasana menjadi lebih santai dan rekreatif.
Sebagian peserta duduk di warung tepi pantai sambil menyeruput kopi atau teh, sebagian lainnya membuat vlog, bermain pasir, bahkan ada yang mencelupkan kaki ke air laut dangkal.
Pulau Cipir menjadi penutup yang manis untuk hari itu, menggabungkan suasana reflektif setelah belajar sejarah dengan nuansa kebersamaan dan kegembiraan khas anak muda Jakarta.
Suara dari Ketua Pelaksana
Di akhir kegiatan, Mutia Azzahra Erisa Putri menyampaikan kesan dan harapannya.
Ia mengatakan, "Melalui program ini, saya berharap lahir kesadaran baru di kalangan pemuda untuk lebih peduli pada sejarah dan lingkungan pulau kita. Ini juga menjadi bentuk nyata dedikasi Klub Tempo Doeloe dalam menjaga dan memajukan warisan bangsa, karena kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi?"
Menurutnya, kegiatan ini membuktikan bahwa belajar sejarah tidak harus kaku.
Justru dengan cara seperti ini; menyelami, menyentuh, dan mengalami langsung, nilai-nilai sejarah bisa melekat di hati dan tidak akan mati.
Mutia menambahkan, bahwa Jejak Bahari Jakarta bukan sekadar wisata, melainkan perjalanan untuk memahami jati diri.
Ia berharap kegiatan seperti ini dapat terus berlanjut dan menjangkau lebih banyak pemuda di Jakarta.