Selain hubungan sejarah khusus dengan Rusia, sentimen publik di Vietnam mengenai perang di Ukraina lebih ambivalen dibandingkan di Eropa.
Ada sebagian masyarakat yang mengagumi sosok Vladimir Putin sebagai pemimpin kuat yang menentang Barat.
Tak hanya itu, terdapat pula skeptisisme terhadap klaim Amerika Serikat dan Eropa yang berupaya menegakkan hukum internasional.
Situasi serupa juga tercermin di negara-negara Asia lainnya.
Di Thailand, misalnya, yang merupakan sekutu militer bersejarah Amerika Serikat dan berada di pihak berlawanan dengan Rusia selama Perang Dingin, opini publik juga terbagi seperti di Vietnam.
Thailand menghargai hubungan panjang antara monarki mereka dan Tsar Rusia pada pra-revolusi, serta kontribusi jutaan turis Rusia terhadap industri pariwisatanya.
Berapa lama Vietnam akan mempertahankan kedekatannya dengan Vladimir Putin pun hingga saat ini terbilang masih belum jelas.
Negara ini telah mencari sumber alternatif untuk peralatan militer, namun mengakhiri ketergantungannya pada Rusia akan memakan waktu bertahun-tahun.
Serangkaian pengunduran diri tingkat tinggi dalam Partai Komunis baru-baru ini menunjukkan adanya persaingan internal yang intens.
Peristiwa tersebut nampaknya berkaitan dengan pandangan elit politik mengenai generasi pemimpin berikutnya dan arah masa depan negara.
Meski demikian, belum ada tanda-tanda bahwa Vietnam akan meninggalkan ambisi untuk berteman dengan semua negara dan tidak bermusuhan dengan siapa pun.
Strategi 'diplomasi bambu' ini tampaknya akan terus menjadi landasan kebijakan luar negeri Vietnam.
Yang mana akan memungkinkan negara ini untuk tetap relevan dan kuat di tengah dinamika geopolitik global yang semakin kompleks.