PANDE.co.id - 1945.
9 Agustus, Rusia menyerang Manchukuo, vasal Jepang di China-daratan.
Di Hari yang sama, bom atom menyasar Nagasaki, oleh Amerika dijatuhkan.
Dijepit utara-selatan, dan tak punya banyak pilihan. 15 Agustus 1945, rekaman pidato penyerahan diri Jepang oleh Kaisar disebarkan.
Diumumkan, Jepang menyerah. Sekutu menang. Tapi belum datang.
Mengambil kesempatan, 17 Agustus, proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan.
Jepang menyerah, tapi Sekutu akan segera datang.
Tugas utamanya melucuti dan memulangkan bala Jepang.
Tapi, sebagai pemenang, apapun dapat mereka lakukan.
15 September, Sekutu mendarat di Jakarta.
Bukan cuma Inggris, ada Belanda juga ternyata!
Bayi republik berumur 1 bulan belum siap menyambut mereka sendirian.
21 Oktober, ulama NU berkumpul di Surabaya.
22 Oktober, K.H. Hasyim Asyari mengeluarkan fatwa terkenalnya, "Berperang menolak dan melawan penjajah itu, hukumnya Fardhu Ain!"
Sebuah fatwa yang disambut dengan pergerakan kyai, santri rakyat dan laskar.
Bergerak, turun tangan, memastikan bayi republik tidak berjuang sendirian.
**
Darimana semangat itu datang?
Bagaimana cara kaum sarungan belajar tentang narasi kebangsaan?
Orang yang hanya baca Quran dan tiap pagi Roan, kok yo punya pandangan anti penjajahan?
Untuk itu mari kita turut kembali ke belakang.
**
Menurut C.C Berg, santri berasal dari kata berbahasa India, shastri.
Shastri sendiri adalah turunan dari kata shastra.
Shastra berarti buku-buku suci, buku-buku agama, juga buku-buku pengetahuan lainnya.
Sehingga shastri atau cantrik dalam bahasa Sanskerta berarti 'orang yang mengetahui isi kitab suci' atau 'orang yang selalu mengikuti guru'.
Mereka biasa belajar dan mengabdikan diri pada seorang guru dalam sebuah asrama.
Ketika pengaruh Hindu-Buddha memudar dan digantikan pengaruh Islam, ulama penyebar agama islam ini meneruskan tradisi pengetahuan tersebut.
Istilah cantrik kemudian lebih dikenal dengan santri dan asrama tempat mereka tinggal dikenal sebagai pe-santri-an, pesantren.
Para santri itu biasa tidak hanya belajar dari satu guru.
Mereka akan belajar dari satu guru ke guru yang lain, dari satu kyai ke kyai lain serta tinggal dari satu pesantren ke pesantren lain.
Hal ini biasa untuk memperdalam, melengkapi atau menambah cabang ilmu yang lain.
Istilah ini, kemudian dikenal dengan sebutan santri kelana.
Dalam proses itu, para santri tidak hanya belajar ilmu agama, tetapi juga sejarah, kesenian, sastra, kesehatan, perbintangan, juga pertanian.
Tidak heran jika kemudian kita mengetahui ada santri (yang kelak dikenal sebagai Sunan Giri) meninggalkan Kitab Musarar, sebuah kitab kajian tentang gempa, gerhana dan gunung berapi.
Kitab Musarar susunan Sunan Giri. Kitab yang dapat disebut sebagai kitab mitigasi kebencanaan dari masa klasik Indonesia. Berisi tentang catatan terkait astronomi, gerhana, gempa bumi, tanah longsor. (Kyai Ahmad Baso)
Juga masih banyak contoh santri, yang kemudian jadi ulama besar, menulis tentang seni, ekonomi, sosial juga politik dan tata pemerintahan.
Mereka menulis dalam bahasa Arab, juga bahasa dan aksara lokal.
Sistem santri kelana yang memungkinkan seorang santri berpindah dari satu guru ke guru lain, dari satu komunitas ke komunitas lain membuat simpul yang berkait dan terhubung antara satu pesantren dengan pesantren lain.
Sehingga santri tidak saja belajar agama, lebih dari itu.
Dalam pengembaraan memperoleh ilmu, bertemu dan berkumpul dengan beragam komunitas dan jaringan, mereka membaca, menulis dan mendiskusikan ilmu serta gagasan.
Mereka lebih dari sekedar kelompok sarungan, mereka adalah kelompok intelektual.
Yang moving, yang bergerak dan berjalan.
Tradisi ini, memunculkan pula banyak ikatan sosial, dari ikatan keluarga, komunitas, hingga lebih besar lagi, ikatan kebangsaan.
Sejarawan Taufik Abdullah, seperti dikutip Ahmad Baso, menyebutkan bahwa kondisi demikian tindak membuat Belanda happy.
Santri kelana adalah batu penghalang sistem kolonialisasi. Harus dihambat, bila perlu dihabisi.
Sejalan dengan kebijakan politik etis, bidang edukasi, pemerintah kolonial menerbitkan regulasi.
Bumiputera boleh mendirikan sekolah juga madrasah.
Untuk dapat memperoleh posisi bergengsi atau minimal jadi pegawai pemerintah, butuh selembar benda ini: Ijazah.
Sekolah diberikan standarisasi, bahasa Belanda dan huruf latin diajarkan.
Hanacaraka, pegon dan aksara jawi disisihkan.
Santri kelana tak lagi jadi pilihan. Sebagian banyak ingin dapat ijazah, lantas masuk sekolahan.
Mandek-lah tradisi kelana. Babad dan kitab beraksara lokal, tersisih tak terbaca. Terkikis pula tradisi keilmuannya.
Rencana Belanda hampir paripurna lagi sempurna.
Predikat santri menjadi jauh berbeda. Karena tak mampu membaca tulisan Belanda, dianggaplah mereka itu buta aksara.
Karena pesantren tak menerbitkan ijazah, mereka dipandang tak layak bekerja untuk institusi pemerintah.
Padahal, pegawai pemerintah adalah jabatan dambaan bumiputera nyaris dari semua golongan.
Santri yang dulu lekat dengan predikat terpelajar, seketika berubah dianggap tak lebih dari kelompok yang hanya punya kesibukan ngaji: belajar Qur'an setiap hari.
Generasi lama, yang juga buah sistem santri kelana, seperti Ahmad Dahlan dan Hasyim Asyari segera merumuskan perlawanan.
Ahmad Dahlan dan Hasyim Asyari, dua saudara seperguruan.
Pertama bertemu kala berguru pada mbah Cholil di Bangkalan, lantas bersambung pada Kyai Sholeh Darat di Semarang.
Keduanya kemudian menimba ilmu pada Syaikh Ahmad Khatib, imam Masjidil Haram, kelahiran tanah Minang.
Sepulang berguru, mereka membentuk perkumpulan, sebuah wadah pergerakan, sebuah organisasi yang diharapkan dapat tetap menyambung tradisi keilmuan yang nyaris diputus pemerintah kolonial.
1912, Dahlan memulainya dari Kauman, sebuah kampung paderi di jantung ibukota kesultanan.
Hasyim menyusulnya pada 1926 di Surabaya. Kota dagang utama di pesisir bang wetan.
Meski tak lagi sama, santri-santri kelana masih tetap ada, mereka bergerak di pesantren, organisasi dan badan pergerakan.
Ada Mas Mansyur juga Wahid Hasyim, sejak era kolonial Belanda pada dekade awal 1900-an hingga akhir kuasa Jepang.
Mereka terus berusaha membawa bangsa menjemput kemerdekaan, melalui Masyumi cita-cita bangsa itu mereka upayakan.
22 Oktober 1945, setelah melalui musyawarah jumhur ulama, Hasyim Asyari, Ketua Masyumi yang juga Rois Akbar Nahdlatul Ulama, mengumumkan resolusi jihad dari Surabaya.
Salah satu puncak perjuangan kaum santri pada negeri yang mereka cintai.
***
22 Oktober 2023, 78 tahun dari peristiwa Surabaya. Santri harus tahu dan sadar pada posisi dan sejarahnya.
Santri bukan cuma kelompok yang hanya belajar mengaji, barisan yang mengharap doa dan ridho dari para kyai.
Kini, santri jangan mau dijadikan alat penguasa, menggebuk barisan oposisinya.
Santri jangan mau pula jadi alat oposisi melawan pemerintah yang tengah bekerja.
Dalam diri santri, ada darah intelektual selain juga darah pejuang.
Dikala mahasiswa tak dapat lagi diandalkan, saatnya santri mengambil peran.
Berdiri di tengah, mengawal republik yang tengah lelah.
Payah karena kiri kanan sibuk berebut, jarah rayah.
Santri harus jadi menara api yang memberi terang.
Menjadi menara air yang membagi kesejukan.
Santri dan pesantren tidak boleh hanya jadi menara gading, tampak indah dipandang namun minim manfaat yang dapat dirasakan.
***
Selamat Hari Santri 2023!
Bersama Santri, Damailah Negeri.